“Ini bukan sekedar rasa, luk. Tapi juga saling percaya.”
Eeeaaa. Sedikit shock saat teman saya mengakhiri perbincangan pada malam yang dingin itu dengan sebaris kalimat di atas. Setelah mengucapkan kalimat tersebut, seperti ada yang memerintahkan kami berdua, kami terdiam dan bermain dengan pikiran kami masing-masing.
Flash back sebentar ya, awal dari perbincangan ini adalah keinginan teman saya, Trisha, untuk mencurahkan apa yang sedang ia rasakan bersama lelaki-nya. Ia mengatakan dalam sebuah percakapan dengan lelaki-nya, lelaki-nya tiba-tiba mencibir dan mengatakan “kok, aku jadi ngga percaya lagi sama kamu.” Jungkir balik lah perasaan Trisha saat mendengar kata-kata itu. Sakit hati? Pasti. Tapi memang apa yang mereka perdebatkan menunjukkan keplin-planan Trisha dalam mengambil sebuah keputusan. Tentu saja Trisha merasa lelaki-nya tidak salah dan tidak berlebihan saat mengucapkan sebaris kalimat tersebut. Tetapi yah, tetap saja rasa sakit yang dirasa tidak dapat ditawar.
Selanjutnya bisa ditebak, Trisha cerita panjang lebar soal bagaimana dia memang belum sanggup membuat keputusan yang oke. Dia masih gamang. Dan ditambah lagi lelaki-nya yang seakan mengetok palu dan mengatakan bahwa ia tidak percaya lagi dengan Trisha. Morat-marit lah perasaan Trisha. Saya sendiri manggut-manggut dan coba mencerna semua kata-kata yang keluar dari mulut Trisha. –emang saya temen yang ngga beres, cuma bisa angguk-angguk aja. Hehe :p-
Waktu sudah berlalu. Perbincangan antara saya dan Trisha sudah terlewati beberapa bulan di belakang. Trisha pun sekarang sudah lebih baik keadaannya. Ia dan lelaki-nya masih berjalan beriringan juga. –syukurlah- Tapi kemarin kembali saya ingat percakapan saya itu. Kembali soal percaya. Iya, lagi-lagi soal percaya. Kenapa satu kata sederhana itu seperti menjadi satu kata sakti? Kenapa hubungan orang bisa baik-baik saja atau berantakan sia-sia karena satu kata ini saja? Kenapa? Kenapa?
“Dia itu ngga percaya sama aku. Katanya bisa aja aku bohong.”
“ Dia kan ngga lihat aku, gimana dia bisa percaya?”
“Aku udah ngga percaya lagi sama orang-orang.”
“Kita bisa mulai hubungan lagi kan? Aku juga ngga percaya kok sama kamu.”
Hedeeehhh. Dari beberapa orang yang cerita ke saya kata percaya ini sering menjadi trending topic. Dia begitu terkenal. Dia sama bikin deg-degan nya sama kata cinta.
Siapa bilang Cuma kata cinta yang bisa bikin senyum, ketawa, dan nangis secara bersamaan? Kata percaya juga punya kekuatan besar itu! –sotoy- Temen saya bisa nangis karena seseorang yang deket sama dia bilang kalau dia udah ngga percaya lagi sama temen saya itu. Temen saya bisa kembali tersenyum karena orang yang disayanginya mengatakan bahwa ia masih percaya sama temen saya. Temen saya bisa ketawa lega karena dia mempercayai orang yang benar. Duh, si percaya ini ternyata berpengaruh ya?
Saya sendiri juga selalu bilang, kalau membangun hubungan dengan seseorang -apapun itu, pertemanan ataupun percintaan- sebaiknya dilandasi rasa percaya. Apalagi hubungan percintaan yang diakhiri hubungan ranjang. Eee agak saru, hubungan tukar cincin aja :p. Ketika dalam sebuah hubungan tersebut sudah tidak ada rasa percaya, yang terjadi pasti hubungan-tidak-sehat-seperti-sinetron-yang-tiap-hari-jadi-produsen-airmata-.
Kalau saya perhatikan, itu yang akan terjadi. Si cowok yang ngga percaya dengan kesetiaan si cewek bakal sering memojokkan si cewek, akhirnya si cewek cuma bisa memeluk bantal sambil beruraian air mata. Mungkin kalau dibalik, si cewek yang tidak percaya sama si cowok akan menimbulkan rasa depresi tersendiri kepada si cowok dan bukan hal yang mustahil kalau si cowok akan mencari pelampiasan. Ntah cewek lain, minum, rokok, main game –lho?-, dan lain-lain yang sesungguhnya saya ngga gitu ngerti sih –ampun cowok, saya bukan kaummu. Ampuunn-. Yah, paling tidak rasa nyaman yang seharusnya dibangun menjadi sedikit kabur.
Untuk masalah ini saya sampai tanya sama temen saya “mendingan kamu nangis tiap hari karena cowok itu tapi kamu masih bersama cowok itu atau kamu putus sama cowok itu dan kamu tetep nangis tiap hari karena kehilangan cowok itu?”
Hayooo, itu pertanyaan problematis dan dilematis lhoo. Hehehe. Seakan-akan kamu merasa ‘aku sama-sama tersiksa ada kamu dan ngga ada kamu, lalu lebih baik gimana? Gimana?’ Hehehe.
Selingan ahh, nih saya kasih lirik lagu yang kayanya cocok
“It's tearing up my heart when I'm with you
But when we are apart, I feel it too
And no matter what I do, I feel the pain with or without you.”
-Tearing Up My Heart, NSync-
Hehehe. Hayoo, pernah kepikiran ngga?
Saya sendiri ngga tau jawabannya. Huahahahaha. Mungkin karena saya belum pernah merasakan cinta sampai dasar hati terdalam. Cinta yang benar-benar cinta. Cinta yang kata orang bisa mengambil separuh nafasmu dan separuh jantungmu.
Emm… jujur saya belum pernah sihadapkan pada kenyataan yang sepelik itu. Kalau sekarang saya ditanya sih, saya bakal milih putus aja. Mending saya nangis tiap hari berbulan-bulan guling-guling di kamar tapi TIDAK bersamanya daripada nangis tapi sama dia. Dengan tidak bersamanya saya bisa move on, mencari yang lain.
Tapii lagi-lagi itu kan cuma ada di pikiran saya, ntah kalau saya benar-benar dihadapkan dalam keadaan yang seperti itu. Mungkin saja ada faktor-faktor lain yang akhirnya membuat saya memilih untuk bersamanya walau dengan menjadi produsen air mata teryahud di seantero nusantara.
Fiuh, hidup ini emang pilihan. Dan pilihan yang ditawarkan di atas emang sulit. Saya juga ga tau jawabannya apa. Kalau kamu? Punya jawaban yang oke? Hehehe :p
Memang semua ini lebih dari sekedar rasa. :p
-ditulis 15 Oktober 2011-