Jumat, 30 Desember 2011

Percakapan Dua Gelas Susu (1)

“Pesanannya dua gelas susu putih segar panas ya, mbak. Yang satu tanpa gula.”

“Yup, mbak.”

“Ditunggu ya pesanannya.”

Disinilah kita sekarang berada. Duduk berhadap-hadapan ditemani gelapnya malam dan dinginnya kota Yogyakarta. Jalanan di depan masih sarat dengan motor-motor yang sudah tak sabar melabuhkan rodanya. Kota jelas masih ramai walau jarum jam sudah mulai bergerak dari pukul 9 malam. Wajar saja, ini termasuk jalan utama kota ini sehingga pemandangan seperti itu adalah hal yang biasa.

Aku dan kamu sejenak bermain dengan keheningan dan akhirnya kita pun memulai percakapan basa-basi seputar film gratis yang kita tonton tadi ataupun seputar kegiatan akademik yang selalu kita jalani bersama. Tentang beberapa nasib yang sedang melanda teman-teman kita atau tentang takdir yang sedang coba kita jalani. Dan susu yang kita pesan pun datang. Aku tau kamu tidak bisa menyembunyikan wajah sumringahmu. Ya, aku tau susu adalah minuman kesukaanmu.

Kau mulai menyeruput perlahan susu panas itu dan air mukamu pun berubah.

“Panas.” Katamu.

“Yaiyalah.” Potongku galak. “Jelas-jelas ditulis SUSU PANAS. Kalo dingin harusnya kamu protes sama mbaknya.”

“Iye, iye, galak banget sih.” Jawabmu.

“Eh, terkadang tuh mimpi kaya susu panas ini ya. Kelihatannya enak dan menggiurkan saat ia hadir, tapi kalau langsung kita minum juga ga bisa. Nyonyor mulut kita. Terkadang memang kita harus menunggu sampai susu itu dingin atau mungkin kita perlu makan atau minum yang lain dalam rangka menunggu susu itu dingin. Bahkan terkadang bisa saja kita meninggalkan susu itu kalau ternyata ada cecak yang masuk kesana. Hahahaha.”

“Perumpaanmu bagus diawal doang deh, akhirannya bikin antiklimaks. Ngapain juga cecak berenang di susu?” Timpalnya sambil manyun.

“Biarin, kan temanya tentang mimpi. Kadang mimpi membawa kita terbang tinggi sampai kita lupa sama yang namanya realita dan akhirnya kita jatuh dengan rasa sakit yang luar biasa ketika kita sampai pada realita. Jadi bikin perumpaannya juga harus yang antiklimaks dong.” Balasku.

“Terserah deh.” Jawabnya.

Kuamati sekilas profil orang dihadapanku. Sekilas aja, karena dia bukan lelaki ganteng ataupun macho. Dia teman sepermainanku dan di cewek, sama sepertiku. Badannya kecil dan kurus. Tidak salah kalau ada yang menyebutnya kurang gizi. Terkadang ia menyebalkan karena manjanya yang overdosis. Tapi kalau dipikir-pikir kadang dia cukup tough juga kok. Kadang :p. Berteman dengannya lebih dari 3 tahun dengan segala tabiatnya tidak membuatku kapok. Sebagai bocoran aku selalu menjemputnya setiap pergi ke kampus. Macam pacarnya saja :p. Tapi tak mengapa, aku tidak mengeluh dan aku menikmati saat-saat itu.

Sayangnya ada satu hal yang tak pernah aku mengerti tentangnya. Ia selalu menyimpan mimpi yang sama tentang seseorang. Bertahun-tahun dan tak berubah. Tanya kenapa? Perasaan seseorang bukanlah teka-teki yang untuk dipecahkan, menurutku.

Terkadang aku salut dengan kegigihannya menyimpan harapan itu, kegigihannya menunggu susunya yang tak kunjung dingin. Tapi terkadang aku berpikir apakah kegigihan dan kebodohan itu berteman akrab? Kenapa ia tidak mencoba makanan atau minuman lain sembari menunggu susu panasnya itu? Mencari pengalaman baru dan tidak terpuruk pada bagian terburuk dari otak, yaitu “kenangan”. Kenapa terlihat begitu terobsesi akan satu mahkluk itu? Kenapa dan kenapa yang lain.

Tanpa dia tahu terkadang aku ingin mendengar ia menceritakan orang lain. Terkadang aku ingin ia sedikit saja ia lupa akan mimpi indah itu. Sedikit saja kembali pada sebuah “realita”. Terkadang aku ingin dia tidak sakit dan tidak memikirkan hal itu lagi. Sedikit saja.

Tapi mungkin aku harus kembali mengingatkan diriku akan satu baris kalimat yang sering kutulis “Beda kepala beda pikiran, beda hati beda rasa... bukan sesuatu yang benar kalo kita memaksakan perasaan antara satu orang dengan yang lain... biar mereka merasakan dengan hati mereka dan kita dengan hati kita sendiri...”

Aku dan kamu adalah dua sosok yang berbeda. Mungkin seharusnya aku sadar bahwa aku datang di kehidupanmu untuk memberimu tawa dan senyuman bukannya menghakimimu dan mencemoohmu. Mengguruimu bahwa lebih baik begini daripada begitu. Sok menjadi gurumu karena merasa lebih pintar darimu. Menguliahimu dengan sejuta pengalaman yang aku dapatkan. Aku lupa bahwa aku dan kamu berbeda dan aku tak pernah bisa memohon dirimu untuk menjadi yang aku inginkan.

bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar