Minggu, 26 Februari 2012

Life’s Journey with Oboe Voice

23 Oktober 2011

Cukup lama waktu berselang dari tanggal diatas tapi pengalaman yang saya rasakan pada tanggal tersebut masih melekat cukup kuat di ingatan saya.

Pertama kalinya saya menyaksikan pertunjukan Oboe secara live. Hohohoho

Sebenarnya tidak hanya oboe yang ditampilkan, ada piano, string ensemble, dan bahkan ada sindennya pula. Wah, jadi ngga aneh dong kalo saya tetap mengenangnya hingga detik ini. –tsaah-

Resital oboe ini adalah salah satu resital gratis yang saya tonton akhir-akhir ini. Resital ini diadakan di Tembi Rumah Budaya. Permainan oboe ini dimainkan oleh seorang lelaki yang ternyata baru berusia 22 tahun. Hemm… namanya Bagaskoro Byar Sumirat. Permainan oboe-nya tidak perlu diragukan lagi. Otomatis bagus apalagi kalo yang dengar saya, yang notabene bukan orang yang benar-benar berkecimpung di dunia musik. Hanya penikmat. Hohoho.

Resital ini menyuguhkan beberapa repertoar. Pada sesi pertama kita dimanjakan oleh repertoar klasik karya Francis Poulenc. Ada 3 karyanya, yaitu Elégie, Scherzo, dan Déploration. Ketiga repertoar ini menceritakan tentang ratapan, keriangan, dan kecepatan. Kalau kita mendengarnya terasa sekali musik klasiknya –yaiyalah :p-.

Cukup berkesan karena repertoar ini dimainkan selama 15 menit dan mengingat oboe adalah alat music tiup jadi mengerti dong rasanya disuru niup balon 15 menit? Hohoho.

Nah, sesi kedua adalah favorit saya. Pemain oboe ini sepertinya ingin berbagi kisah hidupnya kepada orang-orang yang tengah menikmati alunan musiknya. Mengapa begitu? Karena repertoar-repertoar selanjutnya yang dipilih sangat pas dengan permainan hidup yang dialaminya.

Diceritakan disini bahwa Abang Bagaskoro –berasa teman kental aja saya manggilnya- sudah ditinggal meninggal oleh orang tuanya semenjak kecil dikarenakan si jago merah yang ingin berkenalan dengan rumahnya. Nah, repertoar di sesi kedua ini banyak menceritakan tentang bagaimana kejamnya jilatan api, rasa sayang Abang Bagaskoro terhadap orang tuanya yang tidak lenyap hingga detik ini, dan bagaimana Abang Bagaskoro memandang hidupnya yang tentu masih panjang ke depan.

Sesi kedua dimulai dengan repertoar berjudul “Anoman Obong”. Repertoar ini menceritakan salah satu potongan adegan dalam cerita pewayangan Ramayana, dimana Anoman tertangkap saat membuat kekacauan di Istana Alengka dan akhirnya ia dibakar. Namun karena kesaktiannya, Anoman tidak mati tetapi semakin kuat karena api tersebut.

“Orang akan merasa kehilangan setelah dia tidak memilikinya lagi. Api yang menjilat habis dikuatkan dengan kekuatan hati yang ikhlas.”

Selanjutnya dimainkan pula repertoar berjudul “Love My Parents Not Forgotten” dan “My Story”. Dua repertoar ini tidak kalah ciamiknya dengan yang pertama. Untuk repertoar yang berjudul “Love My Parents Not Forgotten”, waktu saya mendengarkannya, saya benar-benar merasa bahwa untaian nada yang dimainkan memang benar untuk orang tua. Terasa sekali cinta yang ingin disampaikan namun cinta itu bukan untuk pacar, negara, atau lainnya tapi untuk orang tua. Saya yang amatir aja bisa merasakan, berarti repertoar itu memang bagus kan? Salut untuk Mas Julius Catra Henakin –komposer repertoar ini- :).

Yang judulnya “My Story” juga oke, kita seperti dibawa pada serpihan-serpihan kehidupan yang telah kita lalui, yang sedang kita lalui, dan yang akan kita lalui. Kita diingatkan akan satu kata “rasa”. Hidup itu untuk mencicipi segala rasa dan menikmatinya, bukan menolaknya.

“Senang, sedih, marah, dan diam itulah keabadian hidup.” –iya, bukan saya yang ngomong kok, mana bisa saya ngomong sebagus ini. Hohoho-

Saya senang masih punya kesempatan buat nonton acara-acara bagus seperti ini tanpa mengeluarkan kocek sepeser pun. Hohoho. Yah, cuma bensin seberapa sih bila dibandingkan obat hati yang saya dapatkan –tsaah- :p. Iri pingin nonton acara-acara kaya saya? Makanya sering-sering liat poster diberbagai tempat. Kasian kan mereka udah nyetak banyak poster tapi ngga dilirik sedikit pun sama kita. Hehehe.

Nih, saya kasih oleh-oleh dari resital oboe kemarin. Beberapa bait kata yang dirangkai menjadi untaian kalimat inspiratip, apik nan ciamik dari Abang Bagaskoro. :)

“Musik agama saya, Bunyi jiwa saya, nada kitab saya,, Oboe istri saya.

Belum terucap belum tersirat, belaian lembut seorang anak kepada orangtua. Orangtua terkasih pun ‘terlanjur’ pergi untuk selamanya.

Belum berdiri belum berdoa, kobaran api ‘terlanjur’ malahap rumah kecil nan indah.

Kehidupan ini antara hidup dan mati, ada dan tak ada, terang dan gelap.

Angka-angka kalender mulai menusuk. Menusuk keluar! Waktu terasa cepat berlalu, kemarin sekarang dan besok. Hidup itu misteri atau misteri itu hidup??

Lalu,

Apa yang saya perbuat selama ini…??

Ini kehidupan yang mati? Atau kematian yang hidup?

Berjuta-juta pertanyaan menginap gratis di otak kanan kiri saya. ‘Apa gunanya kita hidup toh kita mati juga?’

Dari pertanyaan itulah timbul suatu pencerahan, ‘Mari kita cintai diri kita sendiri’ lalu ‘berikan hidup kita kepada orang lain dan Pencipta yang Maha Seni.’

Senag, sedih, marah dan diam adalah ‘keabadian’ hidup. Alam ini telah memilih.

Jadi… Jalan apa yang ada di depan, sebaik dari yang terbaik. Dimulai dari SEKARANG!”

ini posternya, tulisan GRATIS-nya ngga nahan :p

-ditulis 28 November 2011-

Jumat, 17 Februari 2012

Dad, I Smurf You



Siapa yang sudah nonton Smurf?

Hayo, hayo, angkat tangannya… -ini udah kaya guru TK ngajar anak-anaknya :p-

Sebulan yang lalu kurang lebih -maksudnya bulan Oktober 2011 :p-, saya menonton film Smurf. Sebenarnya kartunnya cukup terkenal di kalangan anak-anak, karena banyak kartun bergambar atau buku mewarnai yang memakai tokoh kartun ini. Nah, sampai pada bulan lalu akhirnya ada juga Smurf versi layar lebar.

Eeeaaa, ngerogoh kocek, jalan-jalan ke gubuk XXI. Itulah yang saya lakukan selanjutnya. –dasar hedon!-

Jujur saya tidak terlalu familiar dengan karakter-karakter di dalam film Smurf. Sebenarnya saya juga bukan salah satu fans beratnya tapi siapa juga sih yang ngga tergoda melihat makhkluk kecil-kecil warna biru yang hidungnya besar itu? Makanya saya jadi penasaran seperti apa cerita Smurf itu.

Sedikir cerita, film ini tidak seluruhnya berupa animasi, namun campuran animasi dengan dunia manusia. –oke, saya ngga tau istilahnya-

Bercerita tentang satu kumpulan mahkluk kecil yang seukuran 3 apel yang ditumpuk secara vertical dan berwarna biru. Mahkluk ini bernama Smurf dan mereka juga dipercaya akan membawa kebahagiaan bagi siapapun yang tinggal bersama mereka. Mereka terdiri dari 99 anak Smurf dan 1 orang Papa Smurf. Dari 99 anak tersebut hanya 1 yang berjenis kelamin perempuan. Mereka hanya mempunyai satu keahlian dalam hidup mereka, oleh sebab itu mereka dipanggil dengan nama yang sesuai dengan keahlian mereka. Ada yang bertugas menjadi narrator, tukang kayu, tukang roti, atau ada si pemberani, si ngantuk, si canggung, si ragu-ragu. Yah, kurang lebih seperti itu. Kalau dipikir-pikir jadi kaya kurcacinya si Putri Salju ya? Hahaha.

Oiya, selain suka bernyanyi Smurf juga suka mengganti kosakata yang mereka punyai dengan kata Smurf. Contohnya: Oh, My Smurf –Oh, My God-.

Alur cerita dan inti cerita ini sangat sederhana. Keluarga Smurf dikejar-kejar oleh penyihir bernama Gargamel, yang ingin mengambil ekstrak biru dalam tubuh mereka. Karena ekstrak dari tubuh Smurf bisa menghasilkan keajaiban yang –seperti biasa- menimbulkan ketertarikan penyihir-penyihir untuk memilikinya. Keluarga Smurf dikejar-kejar sampai bumi atau tempat hidup manusia. Nah, disinilah petualangan Papa Smurf dan beberapa anak-anaknya untuk pulang ke negeri mereka dimulai. Mereka harus mencari cara agar bisa menemukan jalan pulang dan tentu saja dengan bumbu-bumbu kemarukan Gargamel untuk menculik mereka semua.

Hasilnya? Yah, tipikal film pasti kejahatan dapat dilumpuhkan oleh kebenaran dan keberanian, begitu pula pada film ini. Tapi yang benar-benar mengena dalam film ini adalah satu adegan dimana Papa Smurf bercakap-cakap dengan manusia yang menolongnya. Manusia ini adalah calon bapak –istrinya sedang mengandung-. Mereka sempat berbicara dari hati ke hati tentang arti kata melindungi. Lebih tepatnya melindungi keluarga. Bagaimana rasa sayang mereka ke keluarga yang mungkin sudah tidak perlu diungkapkan lagi tetapi diwujudkan dengan cara bagaimana mereka melindungi anggota keluarga mereka. Anggota keluarga mereka tidak perlu tahu seberapa besar beban yang ditanggung di punggung mereka. Mereka hanya perlu tahu bahwa semuanya akan baik-baik saja. Oohh, saya jadi ingat papa saya. –menitikkan air mata-

Saat melihat dan mendengarkan dialog adegan tersebut saya tersenyum sendiri. Yah, setiap peranan dalam sandiwara kehidupan memang selalu punya tugas masing-masing. Dan kemarin saya diingatkan akan tugas seorang ayah. Ayah yang bertugas melindungi, menjaga, dan berada di barisan depan dalam pasukan sebuah keluarga adalah pemandangan yang mengharukan sekaligus indah.Tetap tersenyum di depan anak-anaknya padahal hatinya sedang gundah gulana juga bukan tugas yang mudah.

Yah, saya tahu yang saya tuliskan memang gambaran sosok ayah ideal dan mungkin banyak yang tidak merasakan sosok itu dalam kehidupannya. Tapi kita tidak pernah tau apa yang ada di dalam hati seorang manusia. Mungkin saja ayah yang kita kenal brengsek itu sebenarnya hanya belum sanggup menanggung tugas yang teramat berat itu. Yah, mana saya juga tau. Hehehe Tetapi saat kita mencoba memahami apa yang sebenarnya menjadi tanggung jawab seorang ayah, mungkin kita akan lebih bertoleransi jika papa kita tidak secanggih yang kita inginkan.

Satu hal yang saya tahu, papa saya sendiri mungkin tidak seideal itu. Banyak hal yang papa saya tidak bisa tanggulangi secanggih papa Smurf. Tapi dia adalah papa saya dan saya sayang padangnya.

Ciieeehhh…

Dad, I smurf you… :)

yang ini gambarnya lucu,makanya saya pajang :p

-ditulis 8 November 2011-

Rabu, 15 Februari 2012

Cengeng


Kenapa ya, saya cengeng? :p

Terkadang saya suka bingung, kenapa saya termasuk orang yang lebih sering menangis daripada tertawa? Kalau saya sedang sendiri hal yang pasti saya lakukan adalah merenung dan pada akhirnya menangis.

Coba kamu bayangkan kamu lagi sendirian naik motor atau mungkin naik mobil lalu kamu harus menempuh jarak yang lumayan jauh sendiri. Iya, sendiri. Pasti pikiranmu melayang-layang kan? Begitu pun saya.

Biasanya saya langsung melancong ke la-la-land –sebutan untuk dunia khayalan- dan apa yang akan saya ingat biasanya:

Hal-hal yang akan saya lakukan beberapa jam ke depan

Hal-hal yang sudah terlewat dan biasanya sedih.

Hal-hal yang pernah dilakukan dan sedikit disesali.

Mimpi-mimpi yang sekalian ngga mungkin terwujud. –misalnya pacaran sama Channing Tatum :p-

Selanjutnya, yang biasanya terjadi adalah saya ingat hal-hal apa yang telah terlewat dan apa yang saya sempat sesali dan tanpa sadar kenangan tersebut membawa saya pada guliran-guliran air mata yang kaya jelangkung -datang tak dijemput pulang tak diantar-.

Kenapa airmata bisa turun? Saya ngga tau. Kenapa saya jadi nangis? Saya juga ngga tau. Entahlah, menangis jadi sesuatu yang terjadi begitu saja seperti saat kita bernafas. Saya pun lebih suka membiarkan airmata itu mengalir dan saya sering menganggap itu sebagai proses cuci mata :p.

Saya sering merasa lebih lega ketika selesai menangis. Pikiran saya pun menjadi lebih plong dan saya bisa lebih jernih dalam melihat sebuah masalah. Saat menangis saya meluapkan segala emosi yang terkadang hanya sebuah emosi. Emosi yang tidak dipikirkan terlebih dahulu. Seandainya saya terbawa emosi, mungkin saya hanya akan marah-marah tanpa ada penyelesaian. Tapi dengan mencoba mengeluarkan air mata, memikirkan kembali apa masalah yang sedang menghantui pikiran saya, saya menjadi bisa bernafas dengan lebih lega. Ya,saya tau saya tipe yang menjadikan menangis sebagai sebuah katarsis. Dan satu lagi, saya juga mengamini satu bait lagu Dewa 19 yang berjudul Kirana.

“Tak pernah kusesali namun kutangisi”

Apa yang pernah terjadi dalam hidup saya, selalu saya mencoba untuk mencari celah agar tidak menyesalinya. Seberapun menyakitkannya itu. Toh saya benar-benar tidak dapat apa-apa dari proses penyesalan itu. Tapi saya suka menangis untuknya. Meluapkan apa yang ada di hati agar tidak menjadi tumor atau batu ginjal. Buat saya menangis membuat hidup semakin hidup. Karena dalam tangisan semua emosi yang berkecambuk dapat luruh seperti air mata itu sendiri.

Yah, lagi-lagi itu menurut saya saja. Saya punya teman yang lebih suka tidak menangis. Karena baginya menangis hanya akan membuat dirinya menjadi lemah. Boleh saja, hanya kita yang tahu bagaimana system dalam tubuh kita bekerja. Kalau hati kita memang tidak bisa diajak untuk mengharu biru ya ngga usah maksa nangis juga. Ntar malah tambah sakit. Hohohoho.

Oh, ya tetapi saya juga sebal dengan tangisan ketika ia menjadi alat untuk mencapai sesuatu. Seperti tangisan anak kecil yang minta dibelikan mainan atau air mata buaya yang intinya ngga beda jauh sama anak kecil itu. Emm… kalau itu sih jujur saja saya malah jadi ngga simpatik dan pada akhirnya saya merasa bahwa mereka membuat tangisan itu menjadi tidak sakral lagi. Hohohoho –asal-

-ditulis 13 Oktober 2011-

Nb: fotonya aye ngambil dari mbah Google, kalo ada yang samaan ya maaph :)