Cukup lama waktu berselang dari tanggal diatas tapi pengalaman yang saya rasakan pada tanggal tersebut masih melekat cukup kuat di ingatan saya.
Pertama kalinya saya menyaksikan pertunjukan Oboe secara live. Hohohoho
Sebenarnya tidak hanya oboe yang ditampilkan, ada piano, string ensemble, dan bahkan ada sindennya pula. Wah, jadi ngga aneh dong kalo saya tetap mengenangnya hingga detik ini. –tsaah-
Resital oboe ini adalah salah satu resital gratis yang saya tonton akhir-akhir ini. Resital ini diadakan di Tembi Rumah Budaya. Permainan oboe ini dimainkan oleh seorang lelaki yang ternyata baru berusia 22 tahun. Hemm… namanya Bagaskoro Byar Sumirat. Permainan oboe-nya tidak perlu diragukan lagi. Otomatis bagus apalagi kalo yang dengar saya, yang notabene bukan orang yang benar-benar berkecimpung di dunia musik. Hanya penikmat. Hohoho.
Resital ini menyuguhkan beberapa repertoar. Pada sesi pertama kita dimanjakan oleh repertoar klasik karya Francis Poulenc. Ada 3 karyanya, yaitu Elégie, Scherzo, dan Déploration. Ketiga repertoar ini menceritakan tentang ratapan, keriangan, dan kecepatan. Kalau kita mendengarnya terasa sekali musik klasiknya –yaiyalah :p-.
Cukup berkesan karena repertoar ini dimainkan selama 15 menit dan mengingat oboe adalah alat music tiup jadi mengerti dong rasanya disuru niup balon 15 menit? Hohoho.
Nah, sesi kedua adalah favorit saya. Pemain oboe ini sepertinya ingin berbagi kisah hidupnya kepada orang-orang yang tengah menikmati alunan musiknya. Mengapa begitu? Karena repertoar-repertoar selanjutnya yang dipilih sangat pas dengan permainan hidup yang dialaminya.
Diceritakan disini bahwa Abang Bagaskoro –berasa teman kental aja saya manggilnya- sudah ditinggal meninggal oleh orang tuanya semenjak kecil dikarenakan si jago merah yang ingin berkenalan dengan rumahnya. Nah, repertoar di sesi kedua ini banyak menceritakan tentang bagaimana kejamnya jilatan api, rasa sayang Abang Bagaskoro terhadap orang tuanya yang tidak lenyap hingga detik ini, dan bagaimana Abang Bagaskoro memandang hidupnya yang tentu masih panjang ke depan.
Sesi kedua dimulai dengan repertoar berjudul “Anoman Obong”. Repertoar ini menceritakan salah satu potongan adegan dalam cerita pewayangan Ramayana, dimana Anoman tertangkap saat membuat kekacauan di Istana Alengka dan akhirnya ia dibakar. Namun karena kesaktiannya, Anoman tidak mati tetapi semakin kuat karena api tersebut.
“Orang akan merasa kehilangan setelah dia tidak memilikinya lagi. Api yang menjilat habis dikuatkan dengan kekuatan hati yang ikhlas.”
Selanjutnya dimainkan pula repertoar berjudul “Love My Parents Not Forgotten” dan “My Story”. Dua repertoar ini tidak kalah ciamiknya dengan yang pertama. Untuk repertoar yang berjudul “Love My Parents Not Forgotten”, waktu saya mendengarkannya, saya benar-benar merasa bahwa untaian nada yang dimainkan memang benar untuk orang tua. Terasa sekali cinta yang ingin disampaikan namun cinta itu bukan untuk pacar, negara, atau lainnya tapi untuk orang tua. Saya yang amatir aja bisa merasakan, berarti repertoar itu memang bagus kan? Salut untuk Mas Julius Catra Henakin –komposer repertoar ini- :).
Yang judulnya “My Story” juga oke, kita seperti dibawa pada serpihan-serpihan kehidupan yang telah kita lalui, yang sedang kita lalui, dan yang akan kita lalui. Kita diingatkan akan satu kata “rasa”. Hidup itu untuk mencicipi segala rasa dan menikmatinya, bukan menolaknya.
“Senang, sedih, marah, dan diam itulah keabadian hidup.” –iya, bukan saya yang ngomong kok, mana bisa saya ngomong sebagus ini. Hohoho-
Saya senang masih punya kesempatan buat nonton acara-acara bagus seperti ini tanpa mengeluarkan kocek sepeser pun. Hohoho. Yah, cuma bensin seberapa sih bila dibandingkan obat hati yang saya dapatkan –tsaah- :p. Iri pingin nonton acara-acara kaya saya? Makanya sering-sering liat poster diberbagai tempat. Kasian kan mereka udah nyetak banyak poster tapi ngga dilirik sedikit pun sama kita. Hehehe.
Nih, saya kasih oleh-oleh dari resital oboe kemarin. Beberapa bait kata yang dirangkai menjadi untaian kalimat inspiratip, apik nan ciamik dari Abang Bagaskoro. :)
“Musik agama saya, Bunyi jiwa saya, nada kitab saya,, Oboe istri saya.
Belum terucap belum tersirat, belaian lembut seorang anak kepada orangtua. Orangtua terkasih pun ‘terlanjur’ pergi untuk selamanya.
Belum berdiri belum berdoa, kobaran api ‘terlanjur’ malahap rumah kecil nan indah.
Kehidupan ini antara hidup dan mati, ada dan tak ada, terang dan gelap.
Angka-angka kalender mulai menusuk. Menusuk keluar! Waktu terasa cepat berlalu, kemarin sekarang dan besok. Hidup itu misteri atau misteri itu hidup??
Lalu,
Apa yang saya perbuat selama ini…??
Ini kehidupan yang mati? Atau kematian yang hidup?
Berjuta-juta pertanyaan menginap gratis di otak kanan kiri saya. ‘Apa gunanya kita hidup toh kita mati juga?’
Dari pertanyaan itulah timbul suatu pencerahan, ‘Mari kita cintai diri kita sendiri’ lalu ‘berikan hidup kita kepada orang lain dan Pencipta yang Maha Seni.’
Senag, sedih, marah dan diam adalah ‘keabadian’ hidup. Alam ini telah memilih.
Jadi… Jalan apa yang ada di depan, sebaik dari yang terbaik. Dimulai dari SEKARANG!”
ini posternya, tulisan GRATIS-nya ngga nahan :p
-ditulis 28 November 2011-