Pernah suatu malam saya dan teman saya berbicara tentang keegoisan.
Egois.
Hemm… beberapa orang pasti sebal mendengar kata-kata ini. Kita pasti sebal kalau bertemu dengan orang yang egois. Dan pasti kalau kita menyebutkan kata egois, pasti dengan wajah yang bengis dan sorot mata penuh kebencian –lebay-.
Dari percakapan malam itu, saya dan teman saya menemukan satu hal yang terkadang luput dari pikiran kita. Keegoisan itu berbanding lurus dengan kejujuraan.
Ketika kita jujur tentang perasaan kita kepada orang lain sebenarnya saat itu kita sudah mulai egois. Walaupun memang ada tingkatan-tingkatannya. Contoh yang paling sederhana, kita bilang sama ibu kita “Ma, masakan mama rasanya aneh, aku beli makan di luar aja ya.”
Kata-kata yang disampaikan ini adalah kata-kata yang jujur yang keluar dari hati yang paling dalam tapi kalau ditelisik sebenarnya itu adalah wujud keegoisan kita akan kehendak kita sendiri. Kita maunya makan yang enak, lebih baik makan di luar daripada maksa makan masakan mama. Tetapi kita ngga pernah berpikir bagaimana perasaan mama kita ketika kita berbicara seperti itu. Kita ngga mau tahu keinginan mama kita untuk melihat kita makan di rumah. Kita maunya semua berjalan sesuai yang kita inginkan. Nyerempet banget sama yang namanya egois. Jadi, jujur sih tapi ya tetep aja egois.
Itu baru contoh sederhana tapi kalau udah bicara soal cinta, perasaan, dan hati. Wuiiihhh lebih rumit dong yaa. Mau jujur sama apa yang dirasa, tapi itu sama saja menghancurkan perasaan orang lain. Mau ngga bilang, kita yang susah. Dan ketika akhirnya kita ngomong apa yang kita rasa, orang tersebut sakit hati dan bilang kita egois. Serba salah.
Yah, saya sih selalu percaya kalau kejujuran itu menyakitkan. Egois itu juga menyakitkan. Maka saya berkesimpulan kejujuran dan egois itu berbanding lurus. Semakin kamu jujur semakin kamu egois. Salah atau benar, baik atau buruknya tergantung kita sendiri yang menilai. Semua itu kan relatif. :p
-ditulis 15 Desember 2011-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar